Here he is now, berdiri dengan napas memburu di hadapan pintu apartemen seseorang yang seharian ini dinanti kabarnya. Tidak peduli dengan fakta bahwa dia masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat tampil di panggung tadi.

Setelah sekitar lima menit menunggu, akhirnya dia yang sukses menjadi pemeran utama dalam pikiran Eshan hari ini membuka pintu apartemen miliknya. Perempuan itu terlihat berbeda, membuat Eshan segera mengedarkan netranya memindai perempuan dihadapannya itu dari ujung kepala memastikan tidak ada yang terluka. Rambutnya yang biasa tertata rapih kini terlihat tidak beraturan, sorot matanya terlihat sendu dengan lingkaran hitam di bawahnya, tidak terkecuali pada rona bibirnya yang terlihat hampir sama dengan wajahnya yang pucat pasi. Bahkan dalam kondisi seperti ini, perempuan itu masih tersenyum dengan sisa tenaga yang dimiliki. Refleks Eshan mengarahkan kedua punggung tangannya pada keningnya juga pada milik perempuan di hadapannya, membenarkan segala prasangka yang mengganggu selama di perjalanan.

“Buk.. ekhem.. bukannya lo lagi di Bandung? kok?” tanya Shenina dengan suara yang serak. Bahkan kalau saat ini Eshan tidak sedang meletakkan tangannya pada keningnya, dengan kondisi kepalanya yang seakan diputar-putar, besar kemungkinan Shenina akan berpikir bahwa dirinya hanya sedang berkhayal.

“Lo sakit, Na..” kata Eshan alih-alih menjawab pertanyaan Shenina.

I’m okay.. anget dikit aja. Sini masuk dulu, dingin” kata Shenina mempersilahkan Eshan masuk.

“Anget dikit dari mana? badan lo panas banget ini” balas Eshan sembari masuk ke dalam apartemen Shenina. ****

“Makan? udah?” tambahnya yang dibalas gelengan. “Gak laper, cuma pusing dikit. Tidur bentar juga, enakan” tambah Shenina yang berjalan perlahan ke arah dapur. Namun, sebelum sampai disana Eshan tiba-tiba meraih salah satu lengan perempuan itu, mencegahnya “Mau ngapain?”

“Buatin lo minum?” jawab perempuan itu membalikkan tubuhnya kepada Eshan. “Mau minum apa?” tambahnya masih tanpa petunjuk alasan Eshan sekarang berada di unitnya. Mendengar itu, Eshan menutup matanya sejenak. Terlintas dalam benaknya, how can someone be this selfless?. Bahkan dengan kondisi yang seperti itu, dia masih mencoba melakukan yang terbaik untuk membuat Eshan nyaman berada di apartemennya.

Tanpa berniat mengabaikan pertanyaan Shenina, Eshan justru menarik pelan perempuan itu membawanya menuju kamar tidur lalu mengarahkannya untuk duduk di tepi ranjang. “Istirahat dulu disini, ya? gue pinjam dapurnya, boleh?” tidak memiliki energi untuk menolak, Shenina hanya membalas dengan anggukan.

.

.

Proses memasak bubur ternyata membutuhkan waktu yang lebih lama dari perkiraan, bukan karena tidak terbiasa memasak atau karena bahan makanan sakadarnya yang tidak sempat dipersiapkan karena ia terburu-buru. Tetapi, menyiapkan peralatan serta bahan-bahan untuk memasak, ternyata cukup menyita waktu. Mengingat Eshan tidak mengetahui sama sekali tata letak barang-barang di dapur ini. Sebenarnya Eshan bisa saja bertanya kepada pemilik dapur, tetapi dia tidak ingin mengganggu perempuan yang saat ini mungkin sedang terlelap di kamarnya.

.

.

Setelah kurang lebih satu setengah jam berkutat di dapur, Eshan akhirnya berjalan membawa hasil masakannya dengan harap setidaknya perempuan itu bersedia makan beberapa sendok agar tenaganya lekas pulih. Diletakkan nampan berisi semangkuk bubur dan air hangat pada nakas di sisi ranjang, kemudian menyesuaikan posisinya dengan perempuan yang tengah terbaring dengan posisi sedikit meringkuk itu. Melihatnya, alih-alih membangunkan Eshan justru menarik selimut lalu memperbaiki posisi tidur perempuan itu membiarkannya tidur sedikit lebih lama. Tidak peduli dengan hasil jerih payahnya selama satu setengah jam itu kemungkinan berakhir sia-sia.

Tiga puluh menit berlalu, keduanya masih pada posisi yang sama. Eshan masih terduduk di sisi ranjang terpaku memandangi wajah damai perempuan itu. Dari raut wajahnya, Eshan bisa mengetahui kalau dia terlihat lebih nyaman dari sebelumnya. Tidak lama setelahnya, Shenina terbangun sedikit terkejut. Perempuan itu memang sengaja, tidak menyalakan seluruh lampu pada kamarnya, tetapi ia masih dapat menemukan netra lelaki yang sedari tadi tidak pernah meninggalkan sisinya. “Tunggu bentar, Na” ujarnya memecah keheningan sembari beranjak keluar ruangan.

Dia kembali setelah menghangatkan bubur dan mengganti air hangat di dalam gelas yang sudah berubah suhunya karena dibiarkan terlalu lama. “Minum dulu, Na”. Diberikan gelas tersebut dengan hati-hati sembari kembali duduk pada sisi ranjang. “Thank you” ujar Shenina.